Nyemil Popcorn Politik
(Sebelum ngerusuhin lapak, kita buka forum absurd ini dengan bumbu “gimick” lewat pengantar singkat. Gaboleh dilewatin ya, ntar aku ngambek. Kalo aku ngambek, kita ga jadi malem mingguan. Kalo gajadi malmingan, aku malah gabisa jumpa kamu. Iya kamu, masa depan yang belum juga bertemu....HIYAAAAA ---)
Pernah sekali aku ngelirik novel yang genrenya itu
fiksi penggemar (fanfiction).
Kesukaan aku banget nih. Satu paragrafnya pernah bilang gini “Jatuh cinta ibarat memberi seseorang sebuah
pistol terisi penuh dengan peluru lalu diarahkan pada jantungmu, dan hanya
percaya kalau dia takkan menarik pelatuknya. Sanggupkah kamu?” .
Sederhananya, aku melihat makna tersirat yang gak lepas dari karakter manusia
itu sendiri.
Seseorang SELALU mungkin untuk menjadi orang yang
berbeda, asing, kontras banget dari pribadi yang sebelumnya. Itu bukan karena
mereka munafik. Ahli filsafat yang namanya Aristoteles pernah bilang kalau
segala sesuatunya di alam, benda hidup ataupun mati, selalu punya “sebab akhir”
dari keberadaan mereka. Kita bisa lihat air, tumbuhan dan binatang diciptakan
Tuhan untuk menunjang kebutuhan manusia. Tapi apa mereka semua ada cuma sebagai
makanan kita? Aristoteles gak setuju sama ini, dan itu kenapa filosof tersebut
bilang “..ada hubungan sebab-akibat di alam” (Jostein Gaardner, “Dunia Sophie”.
1991)
Cie, jangan serius gitu mukanya. Pengantar di atas
cuma pengen kasih gambaran tentang obrolan kita hari ini kok, jadi langsung aja
deh yaa kita buka tulisan ini dengan “HAI UNTUK KALIAN SEMUAAA ‼”
Aku kambek dan mengguncang cakrawala tapi tidak dengan
kekuatan rasenggan-nya mas Naruto nih. Karena right now kita mau bincang serius about media industri entertainment
yang pastinya udah familiar di kalian (biar berasa anak Jaksel yang which is itu iye kan). Tapi pernah
disangka gak sih kalo eksistensi media ini sebenarnya dilibatkan juga buat
kepentingan politik atau pemerintahan dan negara? But jangan horor dulu, soalnya kita bakal diskusi topik keren ini
lewat cara asique bosque yang namanya NYEMIL
POPCORN (yeah, scream everyonee ‼)
Pake popcorn sebab aku mau gibahin soal film keren yang
sangat sangat sangaaatt direkomendasikan bagi kalian gaes, ga cuma pecinta film
tapi juga people-people yang pengen
tau gimana kerennya sih Ilmu Komunikasi kalo dah join ranah politik. Kenapa
Ilmu Komunikasi? Kenapa politik? Ya itu, kalo belom tau harus banget wajib kudu
mampir ke lapak gibah ku lewat tulisan-tulisan sebelumnya di blog ini, ga
nyesel pokonya apalagi untuk mengisi waktu kejombloan ini.
Dah ah lanjut.
Film ini udah 2 kali aku tonton. Pertama bareng papa,
ikut-ikutan aja waktu dikasih tau “ada film perang keren nih.” . Kali kedua di
ruang kelas bareng temen-temen yang pastinya lagi bahas politik dan pengen liat
langsung gimana kekuatan super dari seorang pandai merangkai kata sampai bisa
bikin dia “from ‘no one’ to ‘someone’“.
Berjudul “The Captain” atau versi aslinya yakni “Der Hauptmann”, adalah film bernarasi
Jerman karya sutradara Robert Schwentke yang dirilis 7 September 2017.
Mengangkat latar waktu cerita masa Perang Dunia I,
seorang pria bernama Willi Herold (Max Hubacher) dikisahkan sebagai tentara
desersi Jerman yang lagi dikejar-kejar aparat Nazi sebab kabur dari masa dinas
militernya. Kalo sederhananya sih, dia masuk kategori warga yang tidak setia
pada negara. Duh, ke negara aja gak setia gimana ke kamunya? Yak stop stop
becanda wkwkwk.
Waktu lagi kabur, gak sengaja si Willi menemukan mobil
tanpa pengemudi di pinggir jalan dalam keadaan mogok. Sambil meriksa keadaan,
Willi ngedeketin mobil itu dan rupanya ketemu Jackpot nih gais. Gak hanya
makanan (dia udah laper parah dan bajunya compang-camping), dia juga ketemu
seragam dinas perwira Angkatan Udara Jerman Lutwaffe dan gak lagi pikir panjang
dia pake lah itu seragam.
Awalnya seneng nih, dia rehat sambil mengagumi diri yang
udah jadi “perwira” dadakan dan ngomong sendiri seolah-olah lagi memerintah. Eh
gak lama dateng prajurit Jerman yang terpisah dari rombongannya dan minta izin
untuk gabung dengan Willi karena udah bener-bener persis seorang Kapten. Sejak
saat itu Willi memutuskan lanjutin sandiwara dia ke semua orang, mau itu
penduduk, tentara lain, sampe ke petinggi tentara Nazi bahkan lembaga Penegak
Keadilan dan Hukum Jerman bahwa dia adalah seorang kapten yang dapet mandat
langsung dari Der Fuhrer (baca ;
Adolf Hitler) untuk melaporkan kondisi di baris depan.
Jadi waktu film ini kami tonton (sekelas), aku udah
takut aja temen pada bosen (ceritanya ini aku yang rekomendasiin untuk ditonton
sekelas). Pertama, bahasanya bukan Inggris. Kedua, filmnya item putih yang
bikin mata datar banget tuh kan. Terus ini tuh film drama perang, yang isinya
ngoceh doang terus juga jeder-jederan pistol sepanjang 120 menit. Tapi
canggihnya si sutradara, hampir 80% temen yang nonton ini tuh fokus dari awal
ampe abis, jarang yang maen hape dan goalsnya adalah mereka dapet poin utama
yang berusaha diangkat oleh film ini. Hm, kira-kira apa yaa? Ayok dah kita
korek.
Kalau bahasa soal Komunikasi Politik, ada yang bisa
kita pahami sebagai Komponen penyusunnya. Kayak panca indera kita aja; mata,
hidung, telinga, mulut, dan kulit. Komponen Kom. Politik punya isi, metode,
model komunikasi, media, bentuk pesan, dan bagian lainnya yang mendukung
keberlangsungan komunikasi si politik itu sendiri. Film ini dengan jelas
menceritakan salah satu unsur dalam ilmu komunikasi, yakni Komunikator atau si pengirim
pesan yang gak lain adalah si Willi sendiri. Demi bertahan hidup dia rela olah
raga jantung (ceritanya deg degan) dan bohong sampe ke pimpinan tentara, yang
klimaksnya adalah narik semua kepercayaan di camp militer tempat para tentara
disertasi kayak dia ini ditahan.
Kenapa semudah itu? Nah, itu juga yang aku pikirkan di
waktu pertama nonton film ini. Kok bisa sih, orang Jerman yang pangkatnya udah
gede-gede dengan gampang ketipu sama remaja (pelaku kriminal pulak) dan justru jadi
boneka dia? And then i amazed with the
way he persuaded all the time, pengendalian diri yang luar binasa kerennya
sampe ga ada yang bisa menggoyahkan identitas dia sebagai “kaki tangan Hitler”.
Mulutmu adalah mantramu, Willi jelas ngebuktiin
kalo kemampuan berkomunikasi bisa bawa dampak se-horor itu. Dengan salah satu
pendekatan pesan lewat Komunikasi Antarpersonal, Kapten “abal-abal” ini bisa
tampil sangat berwibawa BAHKAN GAES doi akhirnya MENGEKSEKUSI atau kasih
hukuman tembak mati ke rombongan diserter tapi ga dicurigai SAMA SEKALI‼ (maap
kepslok) gila, aku mau boongin papa soal harga ciki aja gagal T.T
Gak hanya dari kemampuan bicara, film ini juga mau
bilang kalau tampilan atau performa itu punya peran sebagai pancingan awal atau
stimulus rangsang lah, kalo istilah anak akademis (biar keliatan pinter gitu) dalam
proses komunikasi ranah Politik. Hal ini ditekankan lewat seragam dinas yang
ditemuin Willi sekaligus awal dari wujud baru Sang Kapten dalam dirinya.
Semacam kunci, Willi Harold langsung ketemu deretan pintu harta karun-nya
menuju puncak kekuasaan yang pastinya gak lepas dari kemampuan dia dalam
memanipulasi kata dan mempengaruhi pendengarnya lewat pesan.
Sekarang kalau kita bandingkan begini. Mana yang lebih
efektif untuk dipakai Willi sebagai alat bertahan hidup, senjata lengkap dengan
baris peluru atau satu pasang seragam tentara Jerman Angkatan Udara? Aku pengen
denger pendapat kalian nih, jangan ragu untuk share di kolom komentar yah!
Tapi terlepas dari semua itu, ocehan aku di atas mau
bilang kalo mulut bisa lebih membunuh daripada belati di depan tenggorokan
sepanjang kapabilitas penggunaanya. Aku juga mau singgung lagi soal paragraf
novel fanfiction di awal tulisan ini.
Gak semata-mata bertahan hidup, keberadaan Willi dalam cerita itu juga
mencerminkan sosok manusia yang haus akan kekuasaan dan dia dinyatakan berhasil
naik ke puncak loh! Yah, walaupun di akhir film ada narasi singkat yang bilang
kalo Willi Harold usaha kabur lagi setelah ditangkap semasa pelariannya (dia
kabur lagi lho, tau gak kenapa? Nonton pokoknya harus!) tapi dia pernah menjadi
sosok nyata yang tertulis dalam sejarah sebagai pria muda cerdik yang berhasil
menguasai camp militer Emslandlager, Jerman pada April 1945 di usianya yang
baru menginjak 21 tahun.
Kutipan paragraf itu bilang, kita ga akan pernah bisa
memastikan “siapa diri kita?” di 5 menit ke depan, sama seperti Willi Harold dan
semua manusia di dunia ini. Diberkati akal pikiran yang mengagumkan sejak lahir,
manusia bisa jadi lebih kuat dari Superman atau tiba-tiba jadi bukan
siapa-siapa dan itu sudah jadi hukumnya. Kang mas Aristoteles aja udah setuju
gitu. Selalu ada tujuan akhir dari keberadaan segala sesuatunya di alam ini,
dan kita gapernah bisa tebak kapan itu muncul.
Kalo dosenku yang kece pernah
bilang (inget bu Pepy kan? Hayo, gaboleh lupa) “Kalo ada yang bilang “Aku
berjuang demi bangsa dan negaraku tanpa kepentingan lain apapun!” yah, that’s
a lie. Gak mungkin manusia bertindak tanpa alasan dasar mereka. Siapa juga
yang mau capeknya doang?”
Nah, kalimat itu akan everlasting sepertinya dalam kepala saya.
Dengan komunikasi antarpersonal, Willi Harold mendekati satu
per satu pimpinan camp sampai namanya diagung-agungkan. Bagaikan jatuh ketimpa
duren inimah. Ga cuma itu, dia bahkan nyaris menguasai kota sebelum akhirnya ditangkap sama pihak keamanan Jerman akibat tindakan dia yang udah semena-mena. Yekan, dah dapet yang asoy tapi masih aja berulah, itu tuh. Sama kaya dia, udah punya bucin (budak cinta) tapi masih aja cari yang lain.
Jadi, berani gak ngasih pistol ke pacar kamu dan yakin kalo mereka ga akan nembak kamu? hmmmmm.
Nah kalo kalian, udah secanggih apasih kemampuan komunikasinya? Cerita
kali, kalo ada yang mau share nanti kita lanjut minggu depan.
See ya‼
Comments
Post a Comment