Indonesia Patah Hati
#Politic-Communication2
(Satu..dua..tiga..) HEY,
HEY, HEI-SKOY!
Berjumpah
egein dengan saya di here! besar harapanku agar waktu yang menyenangkan selalu
bersama dengan kalian, masih semangat dan menutup hari ini dengan senyum :D
tentang postingan minggu lalu, aku nggak sangka loh ternyata masih ada yang mau
baca tulisanku wkwkwk aku kangen banget nulis tuh T.T rindu interaksi sama
temen-temen yang dulu mau komenin ceritanya, kangen diteror gara-gara belum
update, kangen mikir keras buat alur.
Walaupun jomblo (level senior saking
lamanya) aku tetep tau kok susahnya move-on
:’)
Belum
pernah sebelumnya aku bayangin untuk kombek ke sini buat menuhin halaman blog
bareng topik yang akan pelan-pelan kuceritain. Tentang mimpi buruk yang gak
bisa dicegah untuk jadi realita di negara kita, Indonesia. Ibarat orang kalau
pernah pacaran tapi harus berakhir putus, kira-kira kebanyakan yang akan
diinget itu pas lagi manis-manisnya atau waktu lagi sindir-sindiran di Twitter? Kalo temenku sih kebanyakan
langsung pada berubah jadi puitis semua. Snapgram
tuh penuh sama quotes ya, sampe
titik-titik, kadang pake bahasa inggris yang aku ngerti juga engga. Wahay kaum
milenial, mengapa bisa begitu? Apakah teori dalam lirik lagu Meggi Z : “..lebih
baik sakit gigi, daripada sakit hati” itu benar? Atau hanya konspirasi?
Wkwkwkwk (dia pernah ngerasain neraka-nya orang sakit gigi gak ‘sih).
Nah kalau
sudah begitu, seharusnya bakal usaha gila-gilaan biar ga putus lagi dong? Entah
bisa balikan atau maunya bersama cinta yang baru, sebisa ungkin kita ubah
sikap, makin pengertian, lebih peka, extra dalam mengontrol emosi, … *ayo apalagi caranya yuk bisa bantu diisi
soalnya saya lama jomblo jadi lupa, hehe* yhaa gitu-gitu lah. Tapi
sayangnya, yang terjadi sama love story-nya
rakyat dengan Indonesia ini belum mulus juga. Sebenarnya apa yang terjadi sih?
Kita pake ilustrasi biar asik nih ya.
Sedikit
mundur ke sejarah, (pertahankan kawan jangan tidur dulu) tahun 1999 tepatnya 30
Oktober Indonesia pernah “putus” dari salah satu provinsi yang kemudian pada 20
Mei 2002 resmi menjadi sebuah negara bernama Timor Leste. Sebelum “jadian”,
Timor Leste yang sebelumnya bernama Timor Timur ini sudah jadi sahabatnya
Portugis yang juga dukung sahabatnya buat deket sama si keren Indonesia. Mereka
“Jadian” dalam peresmian integrasi 17 Juli 1976, tapi setelah terikat dalam 22
tahun berujung putus juga. Indonesia pada masa itu sangat-sangat rentan
terhadap berbagai isu yang potensial untuk memperburuk situasi. Hatinya baru
saja hancur karena hubungan yang berakhir, peristiwa ricuh pun bangkit satu
demi satu tak lepas dari korban jiwa. Bendera Merah-Putih kemudian diturunkan
dari Timor Timur .
Sebuah
hubungan yang juga mulai terancam bahaya keretakan di Indonesia saat ini
bikin aku inget tragedi Timor Leste. Dalam pengamatanku, apa yang
terjadi sudah melampaui batas toleransi. Aku berharap akan sangat banyak pasang
mata yang mau meninggalkan kesibukannya, sebentar aja mau nengok ke arah ini dan
sadar kalau sebenarnya kita sudah ada di ambang batas kesabaran tentang masalah
perusak hubungan kayak gini.
Pelakor yang sampe disebut “limbah rumah tangga”
kalo menurut Lambe Turah ya menurutku masih lebih layak dibela daripada
persoalan ini. Alasan yang sama malapetakanya dengan pertanyaan perempuan ke
pacarnya, “sayang, cantikan aku atau
dia?” karena kita harus sadar bahwa fisik bukanlah sesuatu yang pantas
untuk kita nilai.
Dilatarbelakangi
oleh isu rasialisme di Surabaya, sebuah kasus yang melibatkan kalangan
mahasiswa Papua di Surabaya sudah melebar sampai ke Jayapura bahkan ikut
menyita perhatian para petinggi pemerintahan Papua. Kasus berkembang kian
serius dengan berpulangnya 600 mahasiswa dari total 1.950 pelajar asal
Yahukimo, Papua yang awalnya menetap untuk belajar bareng kita di berbagai kota studi
Indonesia. Aku ngeliat Bupati Yahukimo Abock Busup sangat terpukul sama
kejadian ini, melalui CNN Indonesia beliau bilang “..nggak tahu lagi bisa diatasi dengan apa selain berpuasa dan berdoa
supaya Papua segera pulih”.
Setelah
semua konflik yang terjadi di Papua, masyarakat dari negara sendiri yang kasih
luka sebesar ini. Dari Busup sendiri aku belakangan tau kalo alasan di balik pulangnya
pemuda pemudi itu karena dampak ga disangka dari konflik rasialisme yang juga mahasiswanya
terima secara personal dalam lingkup pergaulan mahasiswa. Tekanan dan
intimidasi, siapa yang layak menerima semua itu?
Awalnya
pun aku nggak kasih fokus sama perkara ini. Kalalu notif aplikasi berita kasih
judul ya aku buka, di tv pun liat paling lama ga sampe 5 menit. Dan berapa kali
aku begitu sementara makin banyak orang yang menghakimi mereka karena kasus
yang sebenernya adalah HOAX. Aksi demo yang berlangsung ricuh disebutkan terjadi
tanggal 4 September 2019 (CNN Indonesia,
21 September 2019) di asrama mahasiswa Papua Kecamatan Tambaksari, Surabaya.
Melibatkan ormas dan para mahasiswa penghuni asrama, kejadian ini dimulai dari bendera merah putih asrama ditemukan patah dan jatuh dalam selokan lalu bukti
itu tersebar berupa foto lewat grup pesan singkat pengurus warga.
Mahasiswa
Papua dituduh sebagai pelakunya, yang menurut pengakuan Gubernur Papua Lukas
Enembe itu sama sekali ga bener. Selama demo, mereka denger kata-kata bernada provokasi, rasial
sampai penghinaan dengan labelling
binatang muncul dan endingnya mancing amukan mahasiswa Papua. Polisi turun
tangan dengan masuk secara paksa ke asrama dan bawa 43 mahasiswa dari sana
untuk diperiksa, walaupun ya sampe sekarang pelakunya belum juga ketemu. Yang nggak
kalah panas, kondisi ini juga ikut jadi bahan omongan negara lain lewat Dewan
HAM PBB.
Lewat
media internet yang seharusnya menjadi pemersatu bangsa, istilah “mendekatkan
yang jauh” itu udah kayak basi sekali berdasarkan realitanya sekarang. Rencana
pembangunan dunia digital kita jadi luar biasa rusak, malah bikin hoax ini
melebar sepanjang jangkauan tangan internet. Sudah jatuh ketimpa genteng, sedep
gak tuh rasanya.
Bukti dari penyalahgunaan internet menghasilkan seorang tersangka yang sudah manasin konflik lewat media
sosial, yakni aktivis Papua Veronica Koman. Doi dijerat pasal berlapis
yang rasanya sangaatt legit : UU ITE, KUHP 160 tentang menghasut muka umum, UU
1/1946 tentang penyebaran informasi bohong, dan UU 40/2008 mengenai rasis dan
etnis (CNN Indonesia, 20 September
2019).
Usut punya usut, Veronica itu pengacara Aliansi Mahasiswa Papua yang koar-koar
lewat medsos tentang isu aksi jalanan di beberapa daerah Papua. Veronica dengan
santainya bohong dengan bilang akan ada beberapa mobilisasi di beberapa wilayah
Papua. Dan bagai menarik pelatuk senjata, klimaksnya adalah mahasiswa dan
masyarakat yang beneran turun ke jalanan di wilayah Papua meluapkan amarah.
Rese yah,
yang tadinya udah ada janji mau jalan ama doi jadi batal gara-gara paniq bakal
rusuh.
Sebelum ke Veronica polisi juga periksa tersangka selaku koordinator organisasi
massa yang melakukan demonstrasi di depan asrama mahasiswa Papua tanggal 17
Agustus 2019, Tri Susanti. Ada anggota ormas lain yang ikut menjadi tersangka, atau
akrabnya sih “teman ngerusuh bareng” yaitu juru bicara Front Rakyat Indonesia (FRI)
Surya Anta, terbukti melontarkan ujaran rasis pada mahasiswa Papua. Ga kalah
banyak, mereka dijatuhi pasal berlapis-lapis (ngalahin lemper di bu Ayu) dan
setelah ngorek sumber info lebih jauh, aku lagi-lagi shock pas tau Surya Anta itu
adalah PNS Pemkot Surabaya. DAAANNN, Tri
Susanti alias Susi nih ya, NIH YA (astaga kesel banget aku pas ngetik ini)
PERNAH jadi saksi dari kubu salah satu Paslon Presiden dalam sidang sengketa
Pilpres 2019 di MK.
Seriously,
i love my negara :))
Sampai
sekarang kabar yang masuk kasih gambaran tentang status pengawasan warga daerah
Papua oleh Kapolri. Dan lagi-lagi Indonesia dengan Papua diuji kekuatan
cintanya. Ada sebuah pandangan yang datang dari seorang mantan jurnalis tapi lebih
dikenal sebagai pendiri Watchdog Documentary Maker, namanya Dandhy Dwi Laksono.
Mas Dandhy melengkapi kesemrawutan kondisi ini lewat dukungan atas upaya
Referendum bagi masyarakat Papua dengan argumen kalo masyarakat juga punya hak
untuk menentukan nasibnya sendiri. Mas Dandhy juga nggak setuju pasukan militer
Indonesia terus-terusan ada di sana dan jadi opsi pengaman pertama.
Reaksi
berbanding terbalik dateng dari pak Mahfud M.D lewat Indonesia Lawyers Club, bahwa referendum itu gak akan bisa berlaku
untuk wilayah yang sudah dikuasai secara sah oleh suatu negara sehingga Papua
tidak lagi terpisahkan dari Indonesia (UU NO.12 Tahun 2005 pasal 1). “Bahkan pasal 4, ICCPR itu mengatakan ‘setiap
pemerintah, boleh mengambil langkah apapun termasuk langkah keamanan dan
militer, untuk mempertahankan wilayahnya yang sudah diperoleh dan bergabung
secara sah ke dalam kedaulatan itu.’”, ucap pak Mahfud mantap. Gak bisa
disimpulkan sama kayak kasus Timor Leste karena menurut keterengan pak Mahfud,
Timor Leste masuk daftar self-governing
teritory di PBB, atau wilayah dengan pemerintahan sendiri. Tapi Papua
enggak.
Yang mau aku sampaikan adalah, akan selalu
ada pihak yang memperoleh keuntungan di balik terbakarnya sebuah sumbu konflik
terutama yang berpotensi memicu perpecahan. Buat aku, seruan atas opsi
referendum itu salah satunya. Simpelnya gini : kamu lagi ribut sama pacarmu, eh
taunya ada orang yang diem-diem naksir ama pacarmu dan dengan gaya Superman dia
bilang “kamu gak capek dikekang dia
terus? Kamu pacaran untuk bahagia, bukan diatur-atur” . Masalah yang udah
lewat malah ikutan diangkat buat nambah gondok.
Indonesia dan Papua memang butuh penyelesaian
tapi referendum gak akan pernah jadi salah satunya. Daripada nyuruh pisah,
kenapa nggak koreksi celah salam hubungan selama ini? Karena bukan cuma Papua,
tapi kalau belum juga ada perubahan pasti akan ada Provinsi lain yang kayak
gini. Masa mau ngulang berantem terus sama pacar baru? Berarti yang salah itu
bukan lagi pacarnya tapi kita. Kita belum sepenuhnya buka pikiran lebar-lebar, rasis
terus sementara dunia sudah sibuk mengejar perkembangan teknologi sampai ke era 5.0. Berapa lama lagi Indonesia sibuk main di zaman batu?
Mau sekaya apapun negara, kalau rakyatnya
ga bisa kerjasama ya pasti akan habis juga hartanya.
Mungkin
masalahnya jauh lebih pelik dari yang bisa aku lihat lewat media, sekalipun
begitu ini sudah terlanjur memburuk. Masalah terjadi karena sejumlah pihak gak
bertanggung jawab, tapi orang berbondog-bondong teriak ke Presiden buat
selesain, gak mau tau, “loh, kami sudah
pilih kamu sebagai presidennya, ya lakukan pekerjaanmu lah!”. Jadi presiden
sudah kayak dapet tambahan nyawa gitu ya, bukannya jadi pusat kepemimpinan
malah dipandang sebagai pihak yang harus disalahkan setelah semua beban. Aku
ingin bilang ini kalau dikasih kesempatan berkomentar, bahwa kadang kala obat
dari sakit hati itu adalah pemicunya sendiri. Kenapa kita melepaskan Papua yang
masih sangat membutuhkan perhatian dari kita semua sementara mereka juga ga
pernah nolak upaya pengembangan apapun dari pemerintah.
Buka lebih
lebar rangkulanmu, mereka adalah saudaramu. Daripada teriak-teriak depan kantor
pemerintah, bikin macet jalanan, izin ke orang tua buat kuliah eh malah ngemper
siang-siang, mending mahasiswa buat gerakan yang lebih kasih progres. Workshop
untuk buka pikiran atas ancaman perpecahan negara, tulisan atau karya ilmiah
yang lebih dilirik, bahkan perjalanan langsung ke sana untuk tengok langsung
situasinya.
Aku sempet
berangan-angan juga. Kalo seandainya ada di posisi Presiden Indonesia saat
ini, sikap yang aku ambil sepertinya lebih seperti menyentuh langsung
masyarakat di sana. Tahu lebih dulu apa yang mereka rasakan dengan cara buka
telinga lebar, dan di tengah semua kemarahan aku harus buat mereka yakin kalau
mereka sepantasnya dilihat langsung sama Presiden. Aku punya porsi untuk perhatiin
mereka di tengah kesibukanku yang lain. Perasaan mereka penting untuk dijaga,
itu adalah hal yang gak bisa diwakilkan dari Presiden karena harus bergerak
dengan mengatasnamakan bangsa.. Gubernur Papua bilang, martabat dan harga diri
adalah perkara besar bagi orang Papua. Beliau ga singgung infrastruktur atau
pembangunan, kalo gitu kenapa harus mikir untuk kasih yang lain? Seperti yang
aku bilang tadi, kadang obat dari rasa sakit itu ya penyebabnya sendiri.
Comments
Post a Comment